Powered By Blogger

Key

Shine

Sabtu, 17 Desember 2011

Puisi Chairil Anwar

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
PUISI KEHIDUPAN
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
PRAJURIT JAGA MALAM 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
 
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
 
bermata tajam
 
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
 
kepastian
 
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
 
Aku suka pada mereka yang berani hidup
 
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
 
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
 
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
 

(1948)
 
Siasat,
 
Th III, No. 96
 
1949
 


MALAM
 

Mulai kelam
 
belum buntu malam
 
kami masih berjaga
 
--Thermopylae?-
 
- jagal tidak dikenal ? -
 
tapi nanti
 
sebelum siang membentang
 
kami sudah tenggelam hilang
 

Zaman Baru,
 
No. 11-12
 
20-30 Agustus 1957
 
KRAWANG-BEKASI 

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
 
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
 
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
 
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
 
Kenang, kenanglah kami.
 

Kami sudah coba apa yang kami bisa
 
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
 

Kami cuma tulang-tulang berserakan
 
Tapi adalah kepunyaanmu
 
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
 
atau tidak untuk apa-apa,
 
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
 
Kaulah sekarang yang berkata
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 

Kenang, kenanglah kami
 
Teruskan, teruskan jiwa kami
 
Menjaga Bung Karno
 
menjaga Bung Hatta
 
menjaga Bung Sjahrir
 

Kami sekarang mayat
 
Berikan kami arti
 
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
 

Kenang, kenanglah kami
 
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
 
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
 

(1948)
 
Brawidjaja,
 
Jilid 7, No 16,
 
1957
 


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
 
tuan hidup kembali
 
Dan bara kagum menjadi api
 

Di depan sekali tuan menanti
 
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
 
Pedang di kanan, keris di kiri
 
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
 

MAJU
 

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
 
Kepercayaan tanda menyerbu.
 

Sekali berarti
 
Sudah itu mati.
 

MAJU
 

Bagimu Negeri
 
Menyediakan api.
 

Punah di atas menghamba
 
Binasa di atas ditindas
 
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
 
Jika hidup harus merasai
 



Maju
 
Serbu
 
Serang
 
Terjang
 

(Februari 1943)
 
Budaya,
 
Th III, No. 8
 
Agustus 1954
 



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
 

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
 
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
 
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
 
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
 
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
 
Aku sekarang api aku sekarang laut
 

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
 
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
 
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
 

(1948)
 

Liberty,
 
Jilid 7, No 297,
 
1954
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali 
Dengan sepenuh hati
 

Aku masih tetap sendiri
 

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
 
Bak kembang sari sudah terbagi
 

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
 

Kalau kau mau kuterima kembali
 
Untukku sendiri tapi
 

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
 

Maret 1943
 

HAMPA 

kepada sri
 

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
 
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
 
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
 
Tak satu kuasa melepas-renggut
 
Segala menanti. Menanti. Menanti.
 
Sepi.
 
Tambah ini menanti jadi mencekik
 
Memberat-mencekung punda
 
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
 
Udara bertuba. Setan bertempik
 
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

DOA
 

kepada pemeluk teguh
 

Tuhanku
 
Dalam termangu
 
Aku masih menyebut namamu
 

Biar susah sungguh
 
mengingat Kau penuh seluruh
 

cayaMu panas suci
 
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
 

Tuhanku
 

aku hilang bentuk
 
remuk
 

Tuhanku
 

aku mengembara di negeri asing
 

Tuhanku
 
di pintuMu aku mengetuk
 
aku tidak bisa berpaling
 

13 November 1943

SAJAK PUTIH
 

Bersandar pada tari warna pelangi
 
Kau depanku bertudung sutra senja
 
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
 
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
 

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
 
Meriak muka air kolam jiwa
 
Dan dalam dadaku memerdu lagu
 
Menarik menari seluruh aku
 

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
 
Selama matamu bagiku menengadah
 
Selama kau darah mengalir dari luka
 
Antara kita Mati datang tidak membelah...
 

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat: Sri Ajati
 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
 
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
 
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
 
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
 
menyinggung muram, desir hari lari berenang
 
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
 
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
 
menyisir semenanjung, masih pengap harap
 
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
 
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
 

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU
 

Cintaku jauh di pulau,
 
gadis manis, sekarang iseng sendiri
 

Perahu melancar, bulan memancar,
 
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
 
angin membantu, laut terang, tapi terasa
 
aku tidak 'kan sampai padanya.
 

Di air yang tenang, di angin mendayu,
 
di perasaan penghabisan segala melaju
 
Ajal bertakhta, sambil berkata:
 
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
 

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
 
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
 
Mengapa Ajal memanggil dulu
 
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
 

Manisku jauh di pulau,
 
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
 

1946

MALAM DI PEGUNUNGAN 

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
 
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
 
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
 
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
 

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
 


kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
 
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
 
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
 

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
 

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
 
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
 
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
 

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
 

1949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar